Senin, 25 Oktober 2010

DAMPAK REDENOMINASI

NAMA : MUHAMMAD ZAKI SYAHPUTRA
NPM : 14110852
KELAS : 1KA31

DAMPAK REDENOMINASI
* Business News
* Headline

Setiap warga asing yang berkunjung ke sini biasanya sedikit bingung ketika melakukan pembayaran, entah tarif kamar hotel, ongkos taksi atau hanya sebotol minuman. Penyebabnya selalu sama mata uang rupiah terialu banyak nolnya. Kalau seorang warga Amerika Serikat yang baru pertama kali berkunjung misalnya membayar ongkos taksi RplOO 000, pasti akan sedikit tertegun. Kalau dalam denominasi dolar AS, dengan angka itu bukan sekedar ongkosnya yang terbayar, mobil taksinya pun bisa terbeli, bahkan tiga sedan sekaligus. Nilai yang terlalu rendah jika diperbandingkan antara nominal dengan barang atau jasa yang dapat terbeli membuat Bank Indonesia belum lama ini melontarkan wacana redenominasi, memotong jumlah nol tanpa mempengaruhi nilainya, sekedar agar semua transaksi bisa lebih sederhana dilakukan. Tetapi kalau terealisasi, dampaknya mungkin akan sangat besar bagi sistem administrasi bisnis dan pemerintahan, jauh lebih besar dari yang mungkin diantisipasi oleh otoritas keuangan dan moneter kita.

Jelas bahwa untuk menjalankan kebijakan ini, bank sentral harus menarik semua mata uang lama dan mencetak mata uang yang sama sekali baru. Tetapi ini hanyalah dampak yang paling ringan dan paling mudah diatasi oleh Bank Indonesia. Justru kelompok korporat swasta yang mungkin akan menanggung dampak termahal dari redenominasi. Bank-bank swasta harus juga mengubah seluruh mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) agar sesuai nominal yang baru, atau mungkin malah menarik semua ATM dan mengganti dengan yang baru jika bentuk fisik maupun ukuran uang kertas yang dikeluarkan pemerintah berbeda dengan yang lama. Operasi perbaikan atau penggantian mesin secara besar-besaran ini bisa menyedot biaya yang sangat besar. Mungkin tidak setinggi biaya mencetak uang baru, tetapi ingat pihak swastalah yang menanggung beban.

Kemudian muncullah tantangan yang jauh lebih sulit diatasi. Penghilangan jumlah nol akan mengacaukan penghitungan akuntansi yang terkomputensasi dan jika itu terjadi di seluruh negeri dan menimpa kantor-kantor pemerintah maupun swasta, maka terjadilah bencana administrasi nasional. Belum pernah kita mengalami peristiwa semacam ini, karena ketika dulu di zaman Sukarno terjadi perubahan nominal, atau lebih tepatnya pemotongan nilai uang, sistem akuntansi dan administrasi kebanyakan masih bersifat manual. Mari kita ilustrasikan secara sederhana tentang kekacauan administrasi akibat redenominasi. Misalkan PT XYZ tahun lalu mencetak keuntungan Rp200 juta, dan sekarang keuntungan naik menjadi Rp400 juta. Tetapi tahun ini terjadi redenominasi sehingga Rpl.OOO.OOO tahun lalu ekuivalen dengan Rpl.OOO tahun ini. Dengan kata lain, keuntungan PT XYZ tahun inisebesar Rp400.000. Kalau dimasukkan dalam sistem pembukuan komputer, hasilnya akan terbaca bahwa keuntungan turun drastis dibandingkan tahun lalu, dari Rp200 juta menjadi Rp400 000, bukannya naik seratus persen seperti yang sebenarnya terjadi.

Jadi kita juga mengingatkan Bank Indonesia sebelum bertindak untuk terlebih dahulu meyakinkan semua infrastruktur terkait sudah disesuaikan dan disetting sedemikian rupa sehingga kompatibel dengan mata uang baru dengan lebih sedikit nol. Seluruh sistem penghitungan komputer di Indonesia, termasuk akuntansi, electronic data processing, stok gudang, cash flow, pengiriman, dan lain sebagainya harus terlebih dahulu diubah, dan perubahan itu harus bisa mengakomodasi hasil penghitungan tahun-tahun sebelumnya. Sebuah perusahaan asuransi, sebagai contoh, bisa dikatakan reliable kalau dalam lima tahun terakhir bisa mencatat pertumbuhan laba dan cash flow yang stabil, tetapi hal itu bisa dikacaukan oleh sistem akuntansi komputer yang tidak kompatible. Dalam skala nasional, masalah ini bukan hal yang sepele, dan jelas tidak murah. Tanpa persiapan matang, perdagangan di pasar saham akan kacau balau karena tidak jelas perusahaan mana yang sehat dari segi keuangan, tidak jelas mana yang untung mana yang rugi. Pengapalan ekspor bisa batal karena harga kesepakatan eksportir dan importir tahun sebelumnya menjadi berubah saat barang hendak dikirim.

Biaya penyesuaian infrastruktur akibat redenominasi mungkin lebih besar dari perkiraan pemerintah. Bukan mesin ATM saja yang perlu diubah, tetapi juga mesin kasir di semua toko, mesin literan otomatis di SPBU, mesin argo taksi, dan sebagainya. Semua itu akan memberi beban biaya tambahan yang cukup mempengaruhi kinerja ekonomi swasta. Pada dasarnya wacana yang diluncurkan BI tersebut sangat positif. Harus diakui bahwa mata uang kita memang terlalu banyak nolnya sehingga secara riil ada satuan mata uang yang tidak diterima pasar. Pemilik warung-warung di perumahan sudah menolak pecahan mata uang RpSO, bahkan pengatur jalan ilegal atau pak Ogah pun acapkali membuang dengan sinis pecahan RplOO atau Rp200 yang diberikan pengemudi mobil. Apa gunanya mencetak uang yang tidak diterima warga sendiri? Redemoninasi adalah kebijakan yang tepat, tetapi sebaiknya dipersiapkan panjang dan matang sebelum akhirnya direalisasikan.

Ingat pokok persoalan bukan sekedar bagaimana men-sosialisasikan kebijakan ini. Lebih dari itu, redenominais menuntut perubahan infrastruktur dan sistem administrasi secara masif, atau ekonomi negeri kita akan diooncang prahara pembukuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar